I. TUJUAN
1. Menghayati secara lebih baik
pengaruh berbagai obat system syaraf
Otonom dalam pengendalian
fungsi-fungsi vegetatif tubuh.
2. Mengenal suatu teknik untuk
mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik
pada neoroefektor parasimpatikus.
II. PRINSIP
1.
Pemberian zat kolinergik pada
hewan percobaan menyebabkan salivasi dan hipersalivasi yang dapat diinhibisi
oleh zat antikolinergik.
2.
Persen inhibisi
% Inhibisi = diameter kontrol_ - diameter uji x 100 %
diameter kontrol
III. TEORI
DASAR
Sistem saraf pusat merupakan sistem
saraf eferen (motorik) yang mempersarafi organ-organ dalam seperti otot-otot
polos, otot jantung, dan berbagai kelenjar.1 Sistem ini melakukan fungsi
kontrol, semisal: kontrol tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi
gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh,
dan beberapa fungsi lain. Karakteristik utam SSO adalah kemampuan memengaruhi
yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung dapat
meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam
belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa
detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat
untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap
homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian,
SSO merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton,
2006).
|
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image002.png)
Perjalanan SSO
dimulai dari persarafan sistem saraf pusat (selanjutnya disebut SSP). Neuron
orde pertama berada di SSP, baik di sisi lateral medulla spinalis maupun di
batang otak. Akson neuron orde pertama ini disebut dengan serabut preganglion (preganglionic
fiber). Serabut ini bersinaps dengan badan sel neuron orde kedua yang
terletak di dalam ganglion. Serabut pascaganglion menangkap sinyal dari serabut
preganglion melalui neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut preganglion.
Seperti yang telah diketahui, ganglion merupakan kumpulan badan sel yang
terletak di luar SSP. Akson neuron orde kedua, yang disebut dengan serabut pascaganglion (postganglionic
fiber) muncul dari ganglion menuju organ yang akan diinervasi. Organ efektor
menerima impuls melalui pelepasan neurotransmiter oleh serabut pascaganglion.
Kecuali untuk medulla adrenal,
baik sistem saraf simpatis dan parasimpatis mengikuti pola seperti yang telah
dijelaskan di atas (Regar, 2010).
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat
otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan
saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat
mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik
dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan
impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan,
pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor
spesifik (Pearce, 2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom
tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi
:
a.
Obat yang berkhasiat
terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut : ·
·
Simpatomimetik atau
adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf
simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan
lain-lain.
·
Simpatolitik atau
adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik ditekan atau
melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan
lain-lain.
b.
Obat yang berkhasiat
terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut
·
Parasimpatomimetik atau
kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf parasimpatik oleh
asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin
·
Parasimpatolitik atau
antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik ditekan atau
melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (Pearce, 2002).
Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki efek yang ditimbulkankannya mirip
perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang
disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis. Kerja obat adrenergik
dapat dibagi dalam 7 jenis :
a.
Perangsang perifer
terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa dan terhadap kelenjar liur
dan keringat
b.
Penghambat perifer
terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka
c.
Perangsang jantung,
dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi
d.
Perangsang Sistem
saluran pernapasan
e.
Efek metabolik,
misalnya peningkatan glikogenilisis dihati dan otot dan pelepasan asam lemak
bebas dari jaringan lemak
f.
Efek endokrin, misalnya
mempengaruhi sekresi insulin, rennin dan hormon hipofisis
g.
Efek prasinaptik,
dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan neurotransmitor (Haritsah,
2011).
Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat
yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan
Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung
neuronnya. Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi darimakanan dan menghambat
penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SPdirangsang, timbullah
sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis
faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat
peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga
sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan mengurangi kegiatan
jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan,
antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar,
kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekananintraokuler akibat lancarnya
pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter denganefek
memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka,
menekanSSP setelah pada permulaan menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan dan
Rahardja, 2002).
Reseptor
kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner
dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang
disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan,
reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni:
§ Reseptor
Muskarinik
Reseptor
ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu
alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor
muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan
study ikatan dan panghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas
reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai dalam
ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot
polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun kelima subtipe
reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1 ditemukan
pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot polos
dan jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos.
Obat-obat yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik
dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor
nikotinik pula (Aprilia, 2010).
§ Reseptor
Nikotinik
Reseptor
ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas
lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik,
namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini
terdapat di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan
sambungan neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor
nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia
otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskulular.
Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh
heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular secara spesifik
dihambat oleh turbokurarin
(Mycek, 2001).
Salah satu
kolinergika yang sering digunakan dalam pengobatan glaukoma adalah pilokarpin.
Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh
asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa
ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan
terutama digunakan untuk oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat
menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan
terjadi suatu spasme akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak
tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek (Aprilia, 2010).
Pilokarpin
juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada
kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan
untuk maksud demikian.Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang
dapat menurunkan tekanan bolamata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut
lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular di sekitar
kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turundengan segera akibat cairan
humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsungsekitar sehari dan
dapat diulang kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofatdan
ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. Disamping kemampuannya dalam
mengobatiglaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin
dapat mencapaiotak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat
dan salivasi yangberlebihan (Mycek, 2001).
Antikolinergik
adalah ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan basa organik. Ikatan
ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan
reseptor asetilkolin. Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan
asetilkolin dan mencegah aktivasi reseptor. Efek selular dari asetilkolin yang
diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine monophosphate
(cGMP) dicegah.Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya terhadap blokade.
Faktanya : reseptor muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat
diidentifikasikan : reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar
(M3) (Yeni, 2011).
IV. ALAT
DAN BAHAN
Hewan percobaan : Mencit
jantan dengan BB 20 - 25 g dipuasakan sebelum percobaan (6 jam).
Bahan Obat :
- Urethan (1,8 g/kg BB)
- Atropin 0,04 % (1 mg/kg BB) p.o
- Pilokarpin 0,02 % (2 mg/kg BB) s. c
- Gom arab 3 %
Alat: Papan berukuran 40 x 30 cm yang
diletakkan di atas papan lain dengan
ukuran yang sama. Papan pertama membuat sudut 10 dengan papan kedua, sehingga
membentuk segitiga.Papan bagian atas diberi alas (4 cm).Setelah itu kertas
saring ditaburi bubuk biru metilen sebagai lapisan tipis.
V. PROSEDUR
Dipersiapkan
alat untuk percobaan, dibuat larutan gom dan obat.Hewan percobaan dipilih
secara acak, diamati kesehatan, kemudian masing-masing hewan ditimbang dan
diberi tanda pengenalnya. Pada waktu T = 0, satu kelompok diberi atropin p.o
dan segera sesudah pemberian uretan i.p kelompok kontrol hanya diberi larutan
gom dengan cara yang sama. Pada waktu T
= 15 menit, kelompok lain disuntikkan atropin 0,015 mg/kg BB (s.c)
segera sesudah disuntikkan uretan. Pada waktu T = 45 menit, semua mencit
diberikan pilokarpin secara sub kutan. Kemudian masing-masing mencit diletakkan
di atas kertas saring pada alat (1 mencit per kotak).Penempatan mencit haruslah
sedemikian sehingga mulutnya berada tepat di atas kertas.Setiap 5 menit mencit
ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas. Selanjutnya diulangi hal
yang sama selama 25 menit sampai kotak paling atas. Diamati besarnya noda yang
terbentuk di atas kertas di setiap kotak dan tandai batas noda (pakai
spidol).Diameter noda diukur dan dihitung presentase inhibisi yang diberikan
oleh kelompok atropin.Semua hasil perhitungan dimasukkan ke dalam tabel dan
dibuat grafik inhibisi per satuan waktu.
VI. DATA PENGAMATAN
Berat
Mencit
Mencit
I : 20,2 gram
Mencit
II : 20,5 gram
Mencit
III : 15,5 gram
Kelompok
|
T = 0 menit
|
T = 15 menit
|
T = 45 menit
|
I
|
Uretan (i.p)
Atropin (p.o)
|
-
|
Pilokarpin (s.c)
|
II
|
Uretan (i.p)
|
Atropin (s.c)
|
Pilokarpin (s.c)
|
III
|
Uretan (i.p)
|
-
|
Pilokarpin (s.c)
|
Tabel
Perbocaan
No
|
Kelompok
Uji
|
0-5
|
5-10
|
10-15
|
15-20
|
20-25
|
1
2
3
4
|
Kelompok
Uji I
|
-
-
-
-
|
-
-
-
-
|
-
-
-
-
|
-
-
-
1 cm
|
-
-
1.5 cm
1 cm
|
|
Σ
X
|
0
0
|
0
0
|
0
0
|
1 cm
0,2 cm
|
2,5 cm
0,625
|
1
2
3
4
|
Kelompok
Uji 2
|
-
-
-
-
|
-
-
-
0,4 cm
|
-
0.9 cm
0,5 cm
0,7 cm
|
0,9 cm
1 cm
1,3 cm
1,4 cm
|
1 cm
1,7
1,2 cm
1.4 cm
|
|
Σ
x
|
0
0
|
0,4 cm
0,1 cm
|
2,1 cm
0,52 cm
|
4,6 cm
1,15 cm
|
5,3 cm
1,35 cm
|
1
2
3
4
|
Kelompok
kontrol
|
-
-
-
-
|
0,5 cm
-
-
1,9 cm
|
1,5 cm
-
1,5 cm
2,5 cm
|
0,5 cm
-
3,5 cm
2,1 cm
|
0,5 cm
1,1 cm
3,7 cm
2,1 cm
|
|
Σ
x
|
0
0
|
1,4 cm
0,6 cm
|
4,5 cm
1,32 cm
|
6,1 cm
1,52 cm
|
7,4 cm
1,85 cm
|
Volume Obat Uretan, Atropin, dan Pilokarpin
Volume
pemberian obat secara Oral
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image003.png)
V= gram
mencit x 0,5 ml
20
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image004.png)
20
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image004.png)
20
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image004.png)
20
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image005.png)
Rumus Umum: V= gram mencit
x 0,25 ml
20
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image004.png)
20
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image004.png)
20
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image004.png)
20
VII. PERHITUNGAN
DAN GRAFIK
a.
%
Inhibisi pemberian atropin secara oral
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image006.png)
Jumlah rata rata
saliva kontrol
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image007.png)
5,3
= 83,49 %
b.
%
Inhibisi pemberian atropin secara subkutan
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image006.png)
Jumlah rata rata
saliva kontrol
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image007.png)
5,3
=
41,51 %
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image009.png)
![]() |
Perhitungan Anava
Jumlah Rata Rata Diameter Saliva Mencit
Kelompok Uji (A)
|
Jumlah Rata Rata Diameter Saliva Mencit dari 0’
samapai 25’ (B)
|
Jumlah
|
||||
0’-5’
|
5’-10’
|
10’-15’
|
15’-20’
|
20’-25’
|
||
Atropin P.O
|
0
|
0
|
0
|
1
|
2,5
|
3,5
|
Atropin S.C
|
0
|
0,4
|
2,1
|
4,6
|
5,3
|
12,4
|
Kelompok Uji
|
0
|
1,4
|
4,5
|
6,1
|
7,4
|
19,4
|
Jumlah
|
0
|
1,8
|
6,6
|
11,7
|
15,2
|
35,3
|
1.
Nilai Faktor Koreksi
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image012.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image013.png)
N 3x5
2. Derajat Bebas
dbA = a-1 = 2
dbB = b-1 =4
dbAB = (a-1)(b-1) = 2x4=8
dbG = ab (r-1) = 3x5 (2) =
30
dbT = abr-1= (3x5x3)-1 =
45-1 = 44
3. Jumlah Kuadran Total
JKT= Σyy2 – FK = (52+102+152+202+252)
– 83,072 = 1291,928
![]() |
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image016.png)
3
x 5
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image018.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image016.png)
3x3
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image020.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image021.png)
= 3
Jumlah Kuadrat Galat
JKG= JKT-JKA-JKB-JK(AB)=
1291,928-459,298-331,568+24,655 = 525,725
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image023.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image024.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image026.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image024.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image028.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image004.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image030.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image031.png)
30
6.
Nilai
F-hitung
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image024.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image033.png)
17,52
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image024.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image035.png)
17,52
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image013.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image037.png)
17,52
Nilai F-tabel
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image039.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image041.png)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image043.png)
Tabel
analisis ragam beserta nilai F-tabelnya
Sumber ragam
|
Db
|
JK
|
KT
|
F-hit
|
F.05
|
Perlakuan (A)
|
2
|
459,298
|
1721,79
|
13,10
|
19.405
|
Waktu (B)
|
4
|
331,658
|
82,892
|
4,876
|
6,36
|
AxB
|
8
|
-24,655
|
-3,08
|
-0,17
|
|
Galat
|
30
|
525,725
|
17,52
|
|
|
Total
|
44
|
|
|
|
|
·
Pengaruh
faktor A
Ho
= Tidak ada perbedaan respon mencit di antara pemberian perlakuan (kontrol,
uji, dan pembanding) yang dicobakan
H1
= Ada perbedaan respon mencit di antara pemberian perlakuan (kontrol, uji, dan
pembanding) yang dicobakan
·
Pengaruh
faktor B
Ho
= Tidak ada perbedaan respon mencit di antara perbedaan waktu yang dicobakan
H1
= Ada perbedaan respon mencit di antara perbedaan waktu yang dicobakan
·
Pengaruh
interaksi AxB
Ho = Tidak ada pengaruh
interaksi pemberian perlakuan (kontrol, uji, dan pembanding) dan perbedaan
waktu terhadap respon mencit yang diamati
H1 = Ada pengaruh
interaksi pemberian perlakuan
(kontrol, uji, dan pembanding) dan perbedaan waktu
terhadap respon mencit yang diamati
Kesimpulan :
Apabila
![]() |
·
Pemberian perlakuan (A)
Karena
maka Ho
ditolak. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan respon mencit di antara
pemberian perlakuan (kontrol, uji, dan pembanding) pada taraf kepercayaan 95%.
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image045.png)
·
Perbedaan waktu (B)
Karena
maka Ho
ditolak. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan respon mencit di antara
perbedaan waktu yang dicobakan pada taraf kepercayaan 95%.
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image045.png)
·
Pemberian
perlakuan (kontrol, uji, dan pembanding) dan perbedaan waktu (AxB)
Karena |Fhitung|
˂ |Ftabel| maka
Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa pengaruh interaksi pemberian
perlakuan (kontrol, uji, dan pembanding) dan perbedaan waktu terhadap respon
mencit yang diamati adalah sama pada taraf kepercayaan 95%.
VIII. PEMBAHASAN
Praktikum farmakologi kali ini mengenai obat sistem
syaraf otonom atau obat kolinergik, dimana dilakukan pengujian terhadap
pengaruh aktivitas obat-obat sistem syaraf otonom pada mencit. Syaraf otonom
atau dapat disebut juga sebagai sistem saraf tak
sadar merupakan syaraf-syaraf yang bekerja tanpa disadari atau bekerja
secara otomatis tanpa diperintah oleh sistem
saraf pusat dan terletak khusus pada sumsum tulang belakang. Sistem saraf
otonom ini terdiri dari neuron-neuron motorik yang mengatur kegiatan
organ-organ dalam, misalnya jantung, paru-paru, ginjal, kelenjar keringat, otot
polos sistem pencernaan dan otot polos pembuluh darah.
Percobaan kali ini bertujuan untuk
menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem
syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dan mengenal
suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor
parasimpatikus. Sehingga digunakan obat antikolinergik dengan berbagai cara
pemberian obat yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap system syaraf
otonom.
Percobaan ini diawali dengan mempersiapkan semua alat dan
bahan yang akan digunakandalampercobaan.Kemudian dilakukan pemilihan hewan percobaan yaitu mencit.
Mencit yang telah dipilih, lalu ditimbang. Penimbangan mencit ini dilakukan
dengan meletakkan seekor mencit yang akan digunakan, diatas neraca ohauss dan
diamati angka yang menunjukkan berat badan mencit. Penimbangan mencit ini
bertujuan untuk mengetahui perhitungan dosis yang tepat pada perlakuan
percobaan, karena setiap individu yang memiliki berat badan yang berbeda akan
mendapatkan pemberian dosis yang berbeda, mengingat berat badan merupakan salah
satu faktor penting yang menentukan pemberian jumlah dosis. Setelah ditimbang
setiap mencit diberikan tanda pengenal yang berbeda. Hal ini bertujuan agar mempermudah
mengenali mencit baik pada saat pemberian perlakuan maupun saat dilakukan
pengamatan terhadap percobaan.
Mencit dibagi menjadi 3 kelompok,
yang nantinya akan diberikan perlakuan yang berbeda. Masing-masing
kelompok diberikan uretan dengan dosis yang sesuai, secara
intraperitonial menggunakan jarum suntik. Uretan yang diberikan dalam bentuk
larutan. Pemberian dilakukan dengan cara memegang atau menjepit tengkuk
diantara jari telunjuk dan jari tengah, dengan membuat posisi abdomen yang
lebih tinggi dari kepala. Jarum disuntik dengan membentuk sudut 10⁰. Penyuntikan
harus sedikit menepi dari garis tengah, untuk
menghindari terkenanya kandung kemih. Jangan pula terlalu tinggi agar tidak
mengenai hati. Tujuan pemberian uretan adalah untuk membuat
mencit tertidur atau menurunkan aktivitasnya. Selain itu, pembiusan
mencit dilakukan karena dalam keadaan tertidur biasanya akan terjadi salivasi
dimana salivasi ini akan digunakan sebagai parameter dalam pengujian obat-obat
sistem saraf otonom.
Sistem syaraf otonom terbagi menjadi 2 bagian, yaitu
sistem syaraf simpatik dan sistem syaraf parasimpatik. Kelenjar saliva yang merupakan salah satu kelenjar
dalam sistem pencernaan, akan meningkat aktivitasnya jika distimulasi oleh
sistem saraf parasimpatik atau oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi
sebaliknya, jika diberikaan obat-obat yang aktivitasnya berlawanan dengan
sistem parasimpatik yaitu obat simpatomimetik, maka aktivitas kelenjar saliva
akan menurun.
Setelah masing-masing kelompok diberi
uretan, mencit pada kelompok 1 diberikan atropin secara
peroral. Atropin yang diberikan dalam
bentuk larutan. Perlakuan pada mencit dilakukan dengan menggunakan jarum suntik
yang ujungnya tumpul atau yang biasa disebut dengan sonde. Alat ini dimasukan ke dalam mulut, kemudian
perlahan-lahan dimasukan melalui tepi langit-langit ke belakang sampai
esotagus.
Setelah 15 menit dari pemberian
uretan, mencit pada kelompok 2 juga dilakukan pemberian atropin namun diberikan
secara subkutan dengan menggunakan jarum suntik.
Penyuntikan secara subkutan ini dilakukan di bawah kulit tengkuk. Sedangkan mencit
pada kelompok 3 tidak diberikan atropin karena digunakan sebagai kelompok
kontrol.
Atropin
merupakan obat antikolinergik (obat
simpatomimetik) yang akan diuji dengan diberikan pada mencit untuk
dilakukan pengamatan terhadap pengaruhnya pada sistem saraf otonom. Atropin merupakan obat yang digolongkan
sebagai antikolinergik atau simpatomimetik. Atropin termasuk dalam alkaloid beladona, yang bekerja
memblokade asetilkolin endogen maupun eksogen. Atropin bekerja sebagai
antidotum dari pilokarpin. Efek atropin pada saluran cerna yaitu mengurangi
sekresi liur, sehingga pemberian
atropin ini dilakukan agar produksi saliva menurun karena mukosa mulut
mencit menjadi kering (serostomia). Atropin, seperti agen antimuskarinik
lainnya, yang secara kompetitif dapat menghambat asetilkolin
atau stimulan kolinergik lain pada neuroefektor parasimpatik
postganglionik, kelenjar sekresi dan sistem syaraf pusat, meningkatkan
output jantung, mengeringkan sekresi, juga mengantagonis histamin dan
serotonin. Pada dosis rendah atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini
dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka terhadap atropin.
Selain atropin
juga digunakan uretan.Uretan adalah senyawa etil ester dari asam karbaminik, menimbulkan
efek anaestesi dengan durasi yang panjang seperti choralose. Biasanya senyawa
ini digunakan untuk percobaan fisiologi dan farmakologi. Uretan sering
dikombinasikan dengan choralose untuk menurunkan aktivitas muskular. Uretan
memiliki efek yang kecil pada respirasi dan tekanan darah arteri. Uretan tidak
digunakan sebagai anaestesi dalam kedokteran hewan, tetapi dianjurkan dalam
penggunaannya untuk tujuan eksperimen (percobaan). Dalam praktikum ini, uretan digunakan pada
tikus dalam tahap vegetatif (vegetative stage).
Setelah 45 menit dari pemberian uretan, semua
kelompok mencit diberikan pilokarpin menggunakan jarum suntik secara subkutan
agar efek yang ditimbulkan cepat. Pilokarpin yang diberikan kepada mencit
bertujuan agar mencit tersebut dapat mengeluarkan saliva. Alkaloid pilokarpin
adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase.
Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata sangat
lemah. Polikarpin merupakan obat kolinergik yang merangsang saraf parasimpatik
yang dimana efeknya akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan mengaktifkan
kelenjar-kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar saliva. Obat kolinergik
adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi
Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh)
diujung-ujung neuronnya. Efek kolinergis yang ditimbulkan juga termasuk dalam
merangsang atau menstimulasi sekresi kelenjar ludah, sehingga hal tersebut
dapat memicu terjadinya hipersalivasi sehingga air liur atau saliva yang
dikeluarkan oleh mencit menjadi lebih banyak karena pilokarpin merupakan
salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar saliva.
Setelah semua bahan (obat) sudah diberikan pada
mencit, masing-masing mencit diletakan pada sebuah papan berukuran 40 x 30 cm
yang telah dilapisi oleh kertas saring yang telah ditaburi metilen blue pada
bagian bawah, sehingga air liur yang dikeluarkan mencit akan merubah warna
kertas saring menjadi berwarna biru. Penambahan metilen biru ini bertujuan agar
mempermudah pengukuran diameter saliva yang dikeluarkan oleh mencit karena
adanya perubahan warna yang terjadi.
Masing-masing mencit ditempatkan pada satu kotak dan setiap 5 menit mencit
tersebut dipindahkan pada kotak diatasnya dan hal tersebut
terus diulangi selama 25 menit hingga mencapai kotak yang berada paling atas.
Kemudian diameter salivasi yang terjadi diukur dengan menggunakan
penggaris dan dicatat untuk dilakukan pengolahan data selanjutnya.
Pada mencit ke
1, diberikan uretan secara intraperitoneal dan atropine pada menit ke 0 secara
peroral dan pilokarpin pada menit ke 45 secara subkutan. Setelah diamati selama
25 menit, kertas saring tidak berubah warna menjadi biru yang menunjukan bahwa
hewan percobaan tidak mengeluarkan saliva. Hal ini tidak sesuai dengan
literatur, seharusnya mencit kelompok ini lebih banyak mengeluarkan saliva dibandingkan mencit kelompok 2. Hal
itu disebabkan oleh pengaruh pemberian atropin secara peroral membutuhkan waktu
yang cukup lama karena obat mengalami
proses adsorpsi, distribusi, metabolisme.
Sementara itu dengan pemberian pilokarpin secara subkutan akan cepat
menimbulkan efek karena subkutan langsung masuk ke pembuluh darah sehingga
cepat mempengaruhi sistem syaraf otonom (sebagai zat kolinergik) yaitu terjadi peningkatan sekresi air liur
pada mencit.
Pada mencit ke
2, diberikan uretan ip pada menit ke 0 dan atropin secara subkutan pada menit
ke 15 setelah itu diberikan pilokarpin secara subkutan pada menit ke 45.
Efek yang ditimbulkan pada 10
menit pertama setelah pemberian pilocarpin
mencit yang ke II ini tidak mengeluarkan saliva sama. Namun , pada menit ke 15,
mencit mengeluarkan saliva dengan
diameter sebesar 0,9 cm. Pada menit ke 20, diameter saliva sebesar 1 cm
dan pada menit ke 25, diameter saliva sebesar 1,7 cm. Hal ini juga tidak sesuai
dengan literature. Kelompok mencit ini adalah kelompok yang paling banyak
mengeluarkan saliva. Seharusnya dengan pemberian atropin secara subkutan
membuat efek atropin sebagai obat antikolinergik lebih cepat karena langsung
masuk ke pembuluh darah, tidak seperti proses pemberian atropin secara peroral
pada mencit I. Karena efek dari atropin yang lebih kuat, seharusnya membuat
sekresi air liur lebih sedikit meskipun telah ditambahkan pilokarpin yang
merangsang sekresi saliva.
Pada mencit ke
3, diberikan uretan ip. dan pilokarpin pada menit ke 45 secara subkutan. Pada
menit ke 20, kertas saring tetap berwarna putih yang menunjukan bahwa mencit
tidak mengeluarkan saliva sama sekali. Hal ini tidak sesuai dengan literature.
Pemberian pilokarpin secara subkutan membuat absorpsinya lebih cepat karena
banyak terdapat pembuluh darah di otot dan pada kelompok ini tidak diberikan
obat penginhibisi sekresi saliva. Oleh karena itu, seharusnya kelompok mencit
ini yang paling banyak mengeluarkan saliva.
Dari hasil percobaan dibuat suatu data seperti yang tertera
di atas dan terjadi ketidakseragaman
data pada tiap kelompok percobaan disebabkan oleh perbedan keterampilan
praktikan dalam hal teknis pelaksanaan. Hal ini menyebabkan data tersebut
memiliki presisi /ketelitian yang kurang baik sehingga menunjukkan terjadinya
kesalahan acak yang disebabkan oleh praktikan.
Secara teknis penyerapan zat aktif melalui cara subkutan seharusnya lebih
cepat dan baik karena tidak harus melalui sistem metabolisme tubuh seperti
halnya pada cara pemberian peroral. Konsentrasi obat menjadi tidak tepat jika
mengalami metabolisme terlebih dahulu karena sebagian ada yang disimpan didepo
jaringan, sebagian lagi diekskresikan. Dengan demikian pemberian obat secara
subkutan seharusnya memiliki efek yang lebih baik daripada peroral. Pada
pemberian rute peroral obat mengalami proses adsorpsi, distribusi, metabolisme
yang membutuhkan waktu. Sedangkan pemberian subkutan tidak membutuhkan waktu
yang sama dengan peroral, dan apabila waktu pemberian obat dibedakan seperti
dalam percobaan diatas, maka hasilnya pun tak akan jauh berbeda. Selain itu, banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut diantaranya kesalahan praktikan
dalam penyutikan atau kondisi hewan percobaan yang kurang baik.
Kesalahan dalam penyuntikan dapat menyebabkan ketidaktepatan distribusi zat
aktif sehingga tidak memberikan efek farmakologis yang diinginkan. Kesalahan
memasukan obat secara oral pun dapat menjadi faktor ketidaksesuaian hasil
percobaan dengan literatur. Demikian pula dalam pemilihan hewan percobaan.
Mencit yang digunakan sebagai hewan percobaan dalam penelitian ini haruslah
dipilih dengan seksama. Pemilihan ini didasarkan pada penampilan fisik ,
keaktifan pergerakan dan berat badan. Faktor ini mungkin perlu diperhatikan
selain daripada menitikberatkan pada praktikan.
Persen inhibisi peroral (P.O) yang didapat dari percobaan
adalah 83, 49% lebih besar dari persen inhibisi subkutan (S.C) yaitu 41,51
%. Perbedaan persen inhibisi peroral dengan subkutan berbeda
mungkin dikarenakan oleh salahnya penyuntikan, penyondean oral
ataupun yang telah disebutkan diatas, yaitu perbedaan waktu pemberiaan.
Setelah dilakukan perhitungan % inhibisi maka perhitungan
diplotkan dalam grafik batang dan garis. Dari grafik pertama (grafik batang) dapat disimpulkan bahwa penggunaan atropin secara per
oral lebih efektif dibandingkan dengan pemberian atropin secara sub kutan. Dari grafik kedua
(grafik garis) dapat disimpulkan
bahwa penggunaan atropin secara per oral dapat membuat efek yang lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan atropin secara sub kutan. Kelompok kontrol tentu
memiliki efek yang paling rendah, karena pada pengujian kelompok kontrol hewan
percobaan tidak diberikan obat.
IX. KESIMPULAN
1.
Sistem saraf otonom
meliputi saraf simpatik dan saraf parasimpatik. Atropin digunakan sebagai obat
simpatomimetik (antikolinergik) yang memiliki aktivitas menginhibisi salivasi.
Sedangkan pilokarpin digunakan sebagai obat parasimpatomimetik (kolinergik)
yang memiliki aktivitas menstimulasi salivasi.
2.
Suatu tekhnik untuk
mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neuroefektor parasimpatikus
adalah dengan cara menghitung % inhibisi. Persen inhibisi kelompok uji I
sebesar 83, 49% dan persen inhibisi kelompok uji II sebesar 41, 51%
DAFTAR PUSTAKA
Aprilia, Dwi.2010.Obat
Kolinergik&Antikolinergik.Available Online at http://www.scribd.com/doc/44889033/Obat-Kolinergik-Antikolinergik.
Diakses pada tanggal [01-04-2011]
Guyton,
A. C. 2006. Textbook of medical
physiology 11th edition.
Elsevier Inc. Philadelphia.
Haritsah,
S. 2011. Tinjauan Pustaka Obat Adrenergik. Available online at http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26908/4/Chapter%20II.pdf [diakses tanggal 1 April 2012]
Mycek, J. M.
2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi
ke-2. PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Jakarta.
Pearce,
Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi
untuk Paramedis. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Regar,
E. 2010. Sistem Saraf Otonom. Available online at http://www.scribd.com/doc/31853749/Sistem-Saraf-Otonom
[diakses tanggal 1 April 2012]
Tan,
H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting.
Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Yeni.2011.Makalahnya
Antikolinergik.Available Online at www.scribd.com/doc/53605319/makalahnya-antikolinergik.
Diakses pada tanggal [01-04-2011]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar